Sunday, 18 March 2012

Ratek, Yasinan dan Kenduri

Ratek dalam bahasa mandailing natal merupakan acara pengajian yang dilakukan di rumah orang yang sedang berduka cita, seperti meninggal dunia. Ratek ini hanya dilakukan oleh organisasi nakhdatul ulama sedangkan organisasi muhammadiayah tidak. Ratek dilakukan tiga hari setelah selesai solat magrib. Dalam bahasa indonesia ratek adalah takziah atau membaca surat yasin secara berjamaah di rumah yang berduka cita. 

                                                                          sumber

Ratek termasuk salah satu cara untuk mendoakan jenazah, serta memberikan nasehat kepada keluarga yang ditinggal agar lebih iklas menghadapinya. 

Bagaimana hukum ratek, yasinan dan kenduri menurut Islam ?
Pertanyaan seperti ini sering muncul di kalangan muda Islam. Suatu kebanggan memang jika generasi muda Islam semakin kritis dan haus akan keilmuan. Namun, tidak sedikit diantara mereka yang menggali hukum Islam hanya bermodal membaca buku dan terjemahan, sehingga kandungan ayat-ayat suci dan hadits Rasul hanya difahami sebagian saja, tidak mendalam dan akhirnya melahirkan pemahaman yang salah. Itulah sebabnya Allah memilih diantara hamba-hambanya menjadi ulama yang faham akan Al-Quran beserta sunnah agar menjadi tempat bertanya ummat tentang berbagai hal dalam Agama ini. Nah, untuk Anda yang bertanya bagaimana hukum ratek, yasinan dan kenduri menurut Islam, berikut paparan para ulama berdasarkan Al-Quran dan Hadits. 
Dari Aisyah ra bahwa sungguh telah datang seorang lelaki pada Nabi saw seraya berkata : Wahai Rasulullah, sungguh ibuku telah meninggal mendadak sebelum berwasiat, kukira bila ia sempat bicara mestilah ia akan bersedekah, bolehkah aku bersedekah atas namanya?, Rasul saw menjawab : “Boleh” (Shahih Muslim hadits No.1004).
Maka bila keluarga rumah duka menyediakan makanan dengan maksud bersedekah maka hal itu sunnah, apalagi bila diniatkan pahala sedekahnya untuk mayyit. Demikian kebanyakan orang – orang yang kematian, mereka menjamu tamu –tamu dengan sedekah yang pahalanya untuk si mayyit, maka hal ini sunnah. Lalu
mana dalilnya yang mengharamkan makan dirumah duka atau saat tahlilan? 

Mengenai ucapan para Imam itu, yang dimaksud adalah membuat jamuan khusus untuk mendatangkan tamu yang banyak, dan mereka tak mengharamkan itu. Perlu diketahui bahwa Makruh adalah jika dihindari mendapat pahala dan jika dilakukan tidak mendapat dosa.


  1. Ucapan Imam Nawawi; yang anda jelaskan itu, beliau mengatakannya tidak disukai (Ghairu Mustahibbah) bukan haram, tapi orang wahabi mencapnya haram padahal Imam Nawawi mengatakan ghairu mustahibbah, berarti bukan hal yang dicintai, ini berarti hukumnya mubah, dan tidak sampai makruh apalagi haram, dan yang dimaksud adalah mengundang orang dengan mengadakan jamuan makanan (ittikhaadzuddhiyafah), beda dengan tahlilan masa kini bukanlah jamuan makan, namun sekedar makanan ala kadarnya saja, bukan jamuan. Hal ini berbeda dalam syariah, jamuan adalah makan besar semacam pesta yang menyajikan bermacam makanan, ini tidak terjadi pada tahlilan manapun dimuka bumi, yang ada adalah sekedar besek atau sekantung kardus kecil berisi aqua dan kue – kue atau nasi sederhana sekedar sedekah pada pengunjung, maka sedekah pada pengunjung hukumnya sunnah.
  2. Imam Ibnu Hajar Al Haitamiy; menjelaskan adalah : mereka yang keluarga duka yang membuat makanan demi mengundang orang adalah hal Bid’ah Munkarah yang makruh” (bukan haram). Semoga anda mengerti bahasa, bahwa jauh beda dengan rumah duka yang menyuguhkan makanan untuk tamu yang mengucapkan bela sungkawa, jauh berbeda dengan membuat makanan demi mengundang orang agar datang, yang dilarang (Makruh) adalah membuat makanan untuk mengundang orang agar datang dan meramaikan rumah, lihat ucapan beliau, bid’ah buruk yang makruh, bukan haram, jika haram maka ia akan menyebutnya : Bid’ah munkarah muharramah, atau cukup dengan ucapan Bid’ah munkarah, maka itu sudah mengandung makna haram, tapi tambahan kalimat makruh, berarti memunculkan hukum sebagai penjelas bahwa hal itu bukan haram. Entahlah mereka itu tak faham bahasa atau memang sengaja menyelewengkan makna, sebab keduanya sering mereka lakukan, yaitu tak faham hadits dan menyelewengkan makna. 

No comments:

Post a Comment